Bookmark

#30dayswritingchallenge day 1: Seorang Gilang itu...




Yah akhirnya ada juga kesempatan buat ngisi blog ini secara (semoga bisa) rutin. Kemarin, di twitter ada orang, nggak tahu siapa namanya, yang ngasih tantangan 30 days writing challenge dan topiknya udah dia tentuin. Awalnya nggak mau ikutan, sih, tapi mengingat ini tangan udah mulai kaku karena nggak pernah nulis lagi—apalagi tulisan opini dan argumentasi. Jadi, selamat menikmati tulisan random saya selama tiga puluh hari ke depan.


Bissmillahirrahmannirrahim…

Nggak tahu kenapa, sejak dulu, kalau disuruh mendeskripsikan kepribadian sendiri rasanya kagok dan sulit. Wkwkwk. Mungkin karena saya memang nggak terbiasa “muncul” ke permukaan. Artinya, saya lebih milih diam saja ketika disuruh menerangkan pelajaran di kelas, meskipun saya tahu dan hapal pelajarannya. Mungkin, kalau boleh, saya bakal menyatakan bahwa saya itu seorang introvert.


Maka sebagaimana introvert kebanyakan, saya nggak terlalu banyak membicarakan diri sendiri. Baik saat ngobrol bareng teman di tempat nongkrong atau saat diharuskan di tempat tertentu—sekolah misalnya. Jadi biar deh tulisan ini jadi kesempatan pertama saya menjelaskan kepribadian saya sendiri.


Mari kita mulai dengan apa sifat yang saya sukai dari seorang Gilang Oktaviana.


Pertama, polos. Wkwkwk.

Betul loh, saya itu orangnya polos sejak dulu sampai sekarang. Saya nggak pernah mikir macem-macem saat berinteraksi dengan orang lain. Misalnya, kamu mau minta tolong sekaligus memanfaatkan saya pun saya nggak akan sadar dan pasti nolong kamu. Atau kalau kamu orang yang lebih tua dari saya dan nyuruh saya mengerjakan sesuatu, pasti saya kerjakan. Meskipun kamu sebenarnya sedang bercanda.


Waktu awal-awal kuliah dulu, saya sering banget nongkrong bareng sepuh di dekat rumah. Biasa lah sekadar gonjreng-gonjreng gigitaran sama main kartu. Biasanya ada tiga sampai empat orang pemuda seumuran saya dan dua orang sepuh. Salah satu dari kedua sepuh ini sering banget ngejailin saya dengan cara nyuruh yang nggak penting-penting banget. Seperti memindahkan tempat duduk yang nggak usah dipindahkan, membersihkan tanah di sekitar pos ronda yang seharusnya nggak usah dibersihkan juga gapapa, atau membereskan sandal yang berserakan.


Kalau sama yang seumuran sih ya paling nyuruh nemenin di warung dari siang sampai sore. Kenapa ini masuknya ngerjain? Karena sebenarnya nggak ditemani pun gapapa, toh dia sudah punya agendanya sendiri. Dan kami berdua jadi diem-dieman. Kan buang-buang waktu doang ya.


Kedua, senang menolong. Saya punya satu prinsip yang menjadi dasar buat saya berinteraksi dengan orang lain: Siapapun teman saya yang membutuhkan bantuan, sekecil apapun bantuannya, kalau saya bisa membantu, pasti saya bantu. Pokoknya sebisa mungkin saya bisa meluangkan waktu buat membantu mereka. Kalau nantinya saat saya butuh mereka nggak bisa atau nggak mau bantu, ya gapapa.


Karena prinsip ini, sampai sekarang saya sangat jarang menolak teman yang meminta tolong. Kecuali saat malas banget atau memang nggak ada waktu.


Saat SMP dulu, saya bergaul dengan orang-orang yang punya duit dan gengsinya tinggi. Sementara keadaan saya miskin aja nggak. Wkwkwk inget banget, dulu waktu SMP ke sekolah Cuma bawa duit goceng. Kalau lagi nggak ada duit, ya Cuma dua ribu perak. Karena saya polos dan nggak mikir macem-macem, ya saya oke-oke saja saat mereka lebih mementingkan teman yang punya duit daripada punya waktu buat nemenin. Jadi sebetulnya duluuu banget, bantuan yang saya berikan adalah bentuk terima kasih karena mereka mau main sama saya. Karena saya nggak punya duit, maka tenaga, pikiran, dan waktu yang jadi modal buat bersosialisasi.


Nggak pernah sedikit pun terpikirkan bahwa sifat yang satu ini bakal nempel terus sampai saya dewasa. Dan sekarang, saya baru sadar bahwa sifat ini nggak bagus-bagus amat, tapi apa boleh buat saya sudah terlanjur menyukainya.


Ketiga, cuek alias dingin a.k.a lempeng. Sifat yang paling saya sukai, apalagi di era media sosial sekarang. Tapi di kehidupan nyata juga kepake banget sih. Cuek atau lempeng adalah senjata saya bertahan dari serangan pikiran-pikiran random yang sering menebak isi hati juga kepala orang lain.


Saya nggak pernah peduli mau si ibu A ngomongin di belakang, si Bapak B nggak suka sama saya, si akang C bodo amat sama saya, terserah mereka. Yang penting, tiap ketemu saya menyapa mereka dengan senyuman dan sebisa mungkin nggak berurusan langsung dengan mereka. Intinya menjaga sikap dan hubungan.


Sepertinya cukup tiga sifat ya? Kalau kebanyakan nanti takutnya disangka narsis dan kepedean menceritakan diri sendiri meskipun nggak ada yang minta wkwkwk


Selanjutnya giliran sifat-sifat yang nggak saya sukai.


Yang pertama, pembangkang. Gaya bener ye pembangkang hahaha

Tapi memang begitu adanya kok. Ini sudah saya lakukan sejak jaman sekolah dulu. Yang paling saya ingat, di sekolah saya selalu menentang peraturan yang menurt saya nggak masuk akal atau nggak penting-penting amat. 


Contohnya waktu saya duduk di kelas delapan sekolah menengah pertama (SMP) dua belas tahun yang lalu. Waktu itu, di Ciamis, sekolah-sekolah mulai menerapkan aturan penggunaan kerudung bagi perempuan yang beragama islam dan celana panjang bagi laki-lakinya.


Menurut saya, ini peraturan yang nggak penting-penting amat karena celana sebetulnya nggak menentukan prestasi juga. Coba pikirkan, memangnya kalau saya pake celana panjang bisa langsung jadi juara kelas? Kan nggak begitu. Lagipula ganti celana berarti saya harus beli lagi dan itu pasti harganya mahal banget, bos! 


Selain celana, saya juga hobi memanjangkan rambut meskipun ini sudah jelas melanggar peraturan. Tapi kalau diingat-ingat lagi, saya bukan termasuk seorang pembangkang garis keras. Kadang, saya juga menuruti peraturan, syarat dan ketentuan berlaku tapi ya. Wkwkwk. 


Kedua, keras kepala atau kata si teteh mah mawa karep sorangan. 

Seringkali, saat saya sudah punya sebuah rencana atau tujuan, telinga saya nggak akan mendengarkan obrolan orang lain. Apalagi jika, misalnya, orang lain ini nyuruh saya mengganti tujuan atau berhenti begitu saja.


Mungkin ini karena sejak kecil saya nggak pernah ditegur atau diarahkan oleh kakak. Jadi ya saya hanya melakukan apa yang harus saya lakukan. Udah simple aja. Tapi kalau misalnya kamu nyuruh saya buat belajar lebih banyak lagi buat mencapai tujuan tersebut pasti saya dengarkan. 


Sa kira ini sudah cukup untuk menjelaskan kepribadian seorang Gilang kepada siapapun yang membaca tulisan ini. Kalau nanti tiba-tiba bertemu di tengah jalan, sapa saja ya, saya nggak makan orang kok. wkwkwk.

Posting Komentar

Posting Komentar