Bookmark

#30dayswritingchallenge Day 8: Musik bukan sekadar lagu dan lirik


Berbicara tentang musik, rasanya wajib bahas kekuatan di balik sebuah musik itu sendiri. Musik itu kan bisa membuat kita bahagia, mengembalikan semangat yang sempat hilang, menemani saat kita merasa sendiri pun bisa. Nggak cukup sampai di situ, musik juga bisa membuat kita sedih dan marah. Terutama kalau kita mendengarkan musik yang nggak kita sukai. Namun buat saya musik bahkan lebih dari itu. Ia adalah pintu menuju kehidupan yang menyenangkan juga sulit dilupakan.

Kalau kamu pikir saya berlebihan, it's ok, tapi memang begitu nyatanya. Musik mempertemukan saya dengan orang-orang luar biasa. Mereka ini yang kemudian menjadi teman saya sampai saat ini. Pertemanan kami sudah berjalan empat belas tahun!

Semua berawal dari kegemaran saya bermain gitar sejak kecil. Dulu, saya sering pura-pura jadi personil band bareng sohib di dekat rumah. Kalau nggak salah dulu kami sering jadi Sheila On 7 atau Dewa 19. Saya kebagian jadi pemain gitar.

Waktu itu, teknologi belum menginvasi kehidupan anak-anak seperti sekarang. Jadi lah kami menggunakab peralatan seadanya di sekitar rumah, seperti ember bekas, tutup panci, sapu, atau tiang penyangga jemuran. Setelah pulang sekolah, kami akan berkumpul di rumah Deri. Di sana peralatan sudah disusun rapi karena nggak pernah kami simpan setelah “konser”.

Di tahun terakhir sekolah dasar, saya memutuskan buat belajar gitar. Kebetulan banget dulu saya sering ikut nongkrong di pos ronda saat bulan puasa sekedar menyaksikan pemuda main gapleh sambil gitaran. Dari situlah jika gitar nya nganggur saya pinjam buat belajar. Lagu yang menemani masa-masa belajar saya adalah Di Atas Normal dari Peterpan. Secara chord-nya sangat mudah, Cuma Am dan Em berulang-ulang.

Lebaran tiba, saya punya banyak uang pemberian dari tetangga. Dengan semangat luar biasa, semua uang lebaran saya belikan gitar. Harganya sekitar Rp135,000 di tahun 2005 silam. Tentu saja ini bukan gitar original yang punya suara bagus serta empuk senarnya. Namun tetap saja, bagi saya gitar ini adalah barang yang berharga.

Warnanya seperti langit yang cerah di siang hari, biru dengan goresan putih menyerupai awan. Saya juga membeli majalah gitar, chord namanya, agar bisa belajar chord lagu-lagu pop yang tenar waktu itu. Sebut saja Laskar Cinta, Bintang di Surga, Di atas Normal, Di belakangku, Alexandria, dst dst dst.
Saya juga sempat main band bersama temannya kakak selama kurang lebih satu tahun. Kami bukan band yang mau tampil di atas panggung. Bisa dibilang hanya dijadikan sebagai hobi dan pengisi malam minggu saja.

Umurnya nggak panjang, hanya satu tahun saja. Karena umur saya dengan personil yang lain terpaut jauh, jadi nggak bisa dilanjutkan lagi. Bayangkan saja, saat saya masuk ke SMP mereka sudah masuk ke SMA. Jadi terpaksa harus dihentikan.

Namun dari pengalaman main band itu saya jadi punya skill main gitar yang sedikit di atas rata-rata teman seumuran. Seenggaknya, sekedar memainkan gitar rythem dengan beres dan rapi.

Dari sini saya mulai sedikit “unjuk gigi” saat pelajaran seni musik. Karena biasanya guru seni musik membebaskan para murid membawa alat musik yang mereka bisa, jadi saya bisa bawa gitar. Dan saat jam istirahat atau kelas kosong, saya main gitar sambil nyanyi bareng teman sekelas.

Acara pensi atau peringatan hari besar nasional di sekolah juga saya pakai buat unjuk gigi. Biasanya setiap kelas diharuskan mengirimkan satu perwakilan band untuk tampil di panggung sekolah, saya tentu saja terpilih menjadi personilnya. Kekuatan musik saya rasakan sejak “konser” perdana saya di sekolah.
Mulai kelas delapan, saya membentuk band lagi bersama empat orang teman yang lain. Namanya chitos, sebuah band anak muda yang nggak punya tujuan selain meningkatkan kadar keren di mata murid perempuan. Wkwkwk.

Chitos kemudian berkembang terus. Kami mulai makin sering main di panggung pensi sekolah. Bahkan sempat juga ikut festival di luar sekolah. Waktu itu, kami pikir, ikut saja sekadar membandingkan kualitas dengan band dari kota lain. Hasilnya ternyata jauh sekali perbedaannya hahaha
Band lain sudah mulai mengaransemen lagu, kami masih cover lagu seperti aslinya. Tanpa ada yang berubah sedikit pun.

Sebagaimana band pada umumnya, chitos juga mengalami pergantian personil karena satu dan lain hal. Seingat saya, sampai tulisan ini dibuat chitos sudah lebih dari lima kali ganti personil. Untuk formasi sekarang, hanya tersisa dua orang personil asli. Yaitu saya dan basisnya. Yang lain terhitung “baru”.

Kawan-kawan chitos ini lah yang saya sebut di awa tadi. Meski sekarang kami sudah punya kesibukan masing-masing, tapi chitos nggak pernah bubar. Hanya hiatus dengan batas wakktu yang nggak ditentukan.

Terlalu banyak yang musik berikan buat saya. Karenanya, buat saya kekuatan musik sangatlah luar biasa.

Posting Komentar

Posting Komentar