Bookmark

Rasanya Pengin Jadi Tokoh Utama Anime Isekai


Setengah tahun sudah kita hidup di 2020. Doa dan harapan dalam wishlist awal tahun juga sudah berganti. Dari "2020 wajib nabung! Pokoknya harus nonton konser tahun ini" jadi "punya rezeki buat nutupin kebutuhan pokok tiap bulan saja cukup, ya Allah," atau sekedar minta diberi kesabaran yang lebih buat ngadepin cobaan yang terus muncul. 


Melihat kombinasi kelakuan pemerintah dan netizen di linimasa media sosial ternyata berakibat buruk bagi kesehatan mental, dan pikiran; serta keseimbangan amal dan dosa.


Ya gimana mau sehat kalau tiap hari ada saja piomongeun baru yang muncul di linimasa media sosial. Misalnya soal statemen jubir penanganan Covid-19 yang "optimis rakyat bingung" atau yang terbaru tentang penagih hutang dijerat UU ITE karena nagih hutang di media sosial, yang lebih ekstrim lagi tentu saja celetukan netizen yang dengan entengnya melarang orang miskin punya anak. Kalau kata tetangga saya mah ngarenghap panjang.


Ya memang saya cuma bisa menghirup napas panjang saja, mau marah-marah pun percuma karena nggak bisa mengubah apa pun. Paling bagus cuma dibikin bahan ghibah saja sama terminator. Wkwkwkwk.


Sepanjang 6 bulan ini, saya setidaknya mengalami … perubahan--apa ya nama tepatnya(?)--sikap merespon berbagai macam piomongeun yang ada, khususnya yang sumbernya dari pemerintah. 


Pertama, tentu saja, gemas-gemas manja pada pemerintah.


Penyebabnya nggak lain karena pernyataan pemerintah soal virus corona yang bikin geleng-geleng kepala. Saat negara lain gercep merespon perkembangan terbaru, Indonesia dengan santainya menjadikan corona sebagai candaan. Ya mungkin diam-diam pemerintah menerapkan julukan "negara paling santuy" yang dulu dibanggakan netizen. 


Kedua, mulai peduli dan mau mengikuti perkembangan informasi.


Setelah corona resmi masuk Indonesia, saya mulai peduli dan mengikuti perkembangan informasinya tiap hari lewat media daring. Biar bagaimanapun, saya harus secepatnya memahami virus corona dan penanganan yang akan dilakukan oleh pemerintah. 


Seenggaknya, dengan begitu saya bisa mengambil keputusan: mau ikut pemerintah apa jalan sendiri-sendiri. 


Ketiga, nggak peduli tapi masih liat update akun twitter media daring sesekali


Fase kedua yang saya sebutkan secara singkat di atas hanya bertahan paling selama dua minggu saja.


Penyebabnya, lagi-lagi, karena saya bingung melihat presiden mendiamkan pembantunya yang asal bicara dan mencakup segala bidang. Maksud saya, emang nggak bisa gitu diomongin di belakang kamera "cik ngajedog heula sakeudeung satèh, aing pusing yeuh!!!" Atau mungkin karena terlalu pusing jadi blio diam saja? Mari kita berpikir positip bahwa pilihan kedua yang terjadi dulu. 


Untungnya, waktu itu saya masih mau liat update-an akun twitter media daring, jadi masih ada satu-dua informasi soal Covid-19. 


Keempat, muak melihat pemberitaan soal Covid-19.


Kalau nggak salah ini waktu bulan puasa kemarin. Saya benar-benar frustasi melihat pemberitaan soal Covid-19. Saya muak, nggak mau tahu lagi. Setiap orang yang mengajak bicara soal Covid, pasti saya jawab "gatau, nggak liat berita".


Alasan lainnya, karena saat itu di Ciamis juga lagi rame bangsat alias maling. Jadi saya lebih fokus ke isu tersebut. Saking ramenya sampai dalam sehari bisa ada 11 kasus pencurian di beberapa desa dan kelurahan. Masyarakat bahkan menamainya sebagai "liga bangsat". 


Kelima, saya pengin jadi tokoh utama anime isekai. 


Mungkin benar apa yang teman saya bilang "kalau mau lihat watak seseorang, tungguin dia kesusahan dulu atau ada dalam fase terburuk dalam hidupnya". 


Pandemi Covid-19 menunjukan watak sesungguhnya dari elit politik di Indonesia. DPR, sejauh yang saya tahu, belum fokus mengawasi pergerakan pemerintah dalam menangani pandemi. Sementara pemerintah sendiri rasanya hobi bikin blunder. 


Ketika seharusnya mereka berlomba-lomba cari muka menolong rakyat seperti saat masa pemilu, tapi nyatanya mereka seperti nggak peduli sama sekali. Gimmick dan diksi manis yang mereka lemparkan ke media dipatahkan dengan perilakunya sendiri. Parahnya, hal ini dilakukan terus-menerus sampai saya bosan sendiri. 


Apalagi jika melihat bagaimana DPR dan pemerintah keukeuh mempertahankan RUU Cipta Kerja meski sudah jelas ditolak oleh rakyat. Ujung-ujungnya, muncul pertanyaan tanpa jawaban di pikiran saya "siapa yang mereka wakili sebenarnya?"


Makin kacau saja isi kepala saya, rasanya pengin jadi tokoh utama anime isekai biar bisa ujug-ujug jadi warga negara lain, bahkan dunia lain sekalian. Tanpa repot-repot ngurus administrasi, ngegendutin tabungan dulu, atau mengasah kemampuan karena dalam setiap anime genre isekai, tokoh utama biasanya mendapatkan kekuatan atau kekayaan secara gratis. 

Posting Komentar

Posting Komentar